Pertanyaan : “Ayah saya punya 3 orang istri, istri pertama punya 6 anak, istri yang kedua memiliki 2 anak, dan istri yangg ketiga memiliki 3 anak. Hanya dari istri ketiga ayah saya dapat anak lelaki 2 orang yaitu saya dan adik bungsu saya, selain itu perempuan semua. Akan tetapi ibu saya hanya nikah secara sirih. Sebelum meninggal ayah saya telah menghibahkan semua harta warisan yg berupa sebuah Hotel kepada anaknya dari istri yg pertama saja. Sedangkan anak dari istri ke 2 dan ke 3 tidak mendapatkan apa-apa kecuali rumah yg dibelikan untuk masing-masing istrinya. Bagaimanakah dlm hukum yg syar’i masalah ana tersebut ?”
Jawab :
Sesungguhnya Allah berfirman
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan (QS 16 : 90).
Dan diantara keadilan yang diperintahkan oleh Allah adalah berbuat adil terhadap anak-anak.
Dari sahabat An-Nu’maan bin Basyiir, beliau berkata, “
أَعْطَانِي أبي عَطِيَّةً فقالت عَمْرَةُ بِنْتُ رَوَاحَةَ لَا أَرْضَى حتى تُشْهِدَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَأَتَى رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فقال إني أَعْطَيْتُ ابْنِي من عَمْرَةَ بِنْتِ رَوَاحَةَ عَطِيَّةً فَأَمَرَتْنِي أَنْ أُشْهِدَكَ يا رَسُولَ اللَّهِ قال أَعْطَيْتَ سَائِرَ وَلَدِكَ مِثْلَ هذا قال لَا قال فَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْدِلُوا بين أَوْلَادِكُمْ قال فَرَجَعَ فَرَدَّ عَطِيَّتَهُ
“Ayahku (Basyiir) memberikan suatu pemberian kepadaku, maka Ibuku ‘Amroh binti Rowaahah berkata, “Aku tidak ridho sampai engkau menjadikan Rasulullah sebagai saksi (atas pemberian ini)”. Maka ayahkupun mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Aku telah memberikan kepada anakku -dari istriku ‘Amroh binti Rowaahah- sebuah pemberian, lantas istriku memintaku untuk meminta persaksian darimu wahai Rasulullah”. Nabi berkata, “Apakah engkau juga memberikan kepada seluruh anak-anakmu sebagaimana yang kau berikan kepada An-Nu’maan?”. Ayahku berkata, “Tidak”. Nabi berkata, “Bertakwalah engkau kepada Allah, dan bersikaplah adil terhadap anak-anakmu!”. Maka ayahkupun balik dan mengambil kembali pemberian yang telah ia berikan” (HR Al-Bukhari no 2447)
Adapun pemberian yang diberikan kepada An-Nu’man dari ayahnya adalah seorang budak milik ayahnya (lihat HR Abu Dawud no 3542)
Dalam lafal yang lain Rasulullah mengulang-ngulang perkataannya,
اعْدِلُوا بين أَوْلَادِكُمْ اعْدِلُوا بين أَبْنَائِكُمْ
Bersikalah adil terhadap anak-anakmu, bersikaplah adil terhadap anak-anakmu (HR Abu Dawud no 3544)
Nabi juga bersabda سَوِّ بَيْنَهُمْ “Sama ratakan diantara anak-anakmu” (HR An-Nasaai dalam sunannya no 3686)
Dalam lafal yang lain Rasulullah berkata (dalam konteks pengkabaran) فَإِنِّي لَا أَشْهَدُ على جَوْرٍ “Sesungguhnya aku tidak bersaksi atas kedzoliman” (HR Muslim no 1623)
Dalam lafal yang lain Rasulullah berkata (dalam konteks larangan)
لَا تُشْهِدْنِي على جَوْرٍ
“Janganlah engkau menjadikan aku saksi atas suatu kezoliman” (HR Al-Bukhari no 2507 dan Muslim no 1623)
Dalam lafal yang lain Rasulullah bersabda
فَأَشْهِدْ على هذا غَيْرِي ثُمَّ قال أَيَسُرُّكَ أَنْ يَكُونُوا إِلَيْكَ في الْبِرِّ سَوَاءً قال بَلَى قال فلا إِذًا
Carilah orang selainku untuk menjadi saksi atas hal ini !, Apakah senang jika seluruh anak-anakmu sama berbakti kepadamu?, ayahku berkata, “Tentu saja”, Nabi berkata, “Kalau bagitu jangan (kau berikan pemberian terhadap An-Nu’maan)” (HR Muslim no 1623)
Nabi juga berkata kepada Basyiir ayah An-Nu’maan فَارْدُدْهُ
“Kembalikanlah pemberian tersebut !” (HR Muslim no 1623)
Demikian juga dengan lafal yang lain yang semakna, Nabi berkata فَارْجِعْهُ “Kembalikanlah” (HR Al-Bukhori no 2446 dan Muslim no 1623)
Dari hadits di atas jelas bahwasanya ayah An-Nu’maan yang bernama Basyiir berpoligami, dan An-Nu’maan adalah seorang anak dari salah satu istrinya yang bernama ‘Amroh binti Rowaahah. Dan Basyiir ingin menghadiahkan seorang budak kepada An-Nu’man saja, sementara anak-anaknya yang lain dari istri-istri yang lainnya tidak ia berikan hadiah sebagaimana ia berikan kepada An-Nu’maan.
Ternyata hal ini tidak disetujui oleh Nabi karena perbuatan ini haram. Hal ini sangatlah jelas dari beberapa sisi:
– Nabi tidak mau menjadi saksi atas pemberian hadiah tersebut, bahkan Nabi melara.ng An-Nu’man untuk menjadikan Nabi sebagai saksi
– Nabi mensifati perbuatan ayah An-Nu’maan yaitu Basyiir dengan perbuatan zolim. Dan akhirnya Basyiir mengambil kembali hadiah budak yang telah ia serahkan kepada An-Nu’maan.
– Nabi memerintahkan untuk bersikap adil diantara anak-anak Basyiir.
– Nabi memerintahkan untuk menyamaratakan dalam pemberian
– Nabi memerintahkan Basyiir untuk mengambil kembali hadiah yang telah ia berikan kepada An-Nu’maan. Dan asalnya perintah Nabi memberikan faedah suatu kewajiban.
– Sikap Basyiir yang taat kepada Nabi dengan mengambil kembali hadiah yang telah ia berikan kepada An-Nu’maan.
– Adanya ketidakadilan dalam pemberian terhadap anak-anak akan menimbulkan permusuhan diantara mereka dan saling memutuskan silaturahmi (lihat Al-Mughni 8/257).
Dari penjelasan di atas maka banyak ulama yang berpendapat bahwa hadiah yang diberikan oleh seorang ayah kepada anak-anaknya dengan tidak adil merupakan kezoliman dan tidak sah, maka harus dikembalikan hadiah tersebut. Ini merupakan pendapat Madzhab Hanaabilah dan Madzhab dzohiriah, dan dikuatkan oleh Ibnu Taimiyyah.
Ibnu Qudaamah dari madzhab Hanbali berkata, “Wajib bagi seseorang untuk menyamaratakan di antara anak-anaknya dalam hal pemberian –jika salah seorang diantara mereka tidak memiliki kondisi khusus yang membolehkan untuk dilebihkan dalam pemberian-. Jika ia mengkhususkan sebuah pemberian kepada sebagian anak-anaknya atau tidak sama rata dalam pemberian di antara anak-anaknya maka dia telah berdosa. Dan wajib baginya untuk menyamatarakan dengan salah satu dari dua cara, dengan mengambil kembali kelebihan pemberian yang telah diberikannya kepada sebagian anak-anaknya atau dengan menambah pemberian kepada anak-anaknya yang lain (sehingga sama rata)”. (Al-Mughni 8/256)
Ibnu Hazm Ad-Dzohiri berkata, “Tidak halal bagi seorangpun untuk memberi hadiah atau memberi sodaqoh kepada salah seorang anaknya hingga ia memberikan yang sama kepada seluruh anak-anaknya. Dan tidak halal ia memberikan kepada anak lelaki lebih dari anak perempuannya atau sebaliknya. Jika dia melakukannya maka hadiah tersebut batal dan tertolak selamanya” (Al-Muhallaa 9/142)
Ibnu Taimiyyah pernah ditanya, “Tentang seseorang yang mengkhususkan sebagian anak-anak putrinya dengan memberikannya sekitar 200 ribu dirham, dan sebagian lagi diberikan wakaf sebagian hartanya. Apakah ahli waris orang ini berhak untuk membatalkan ini semua atau tidak?”
Ibnu Taimiyyah menjawab, “Alhamdulillah, bahkan wajib baginya untuk berbuat adil diantara anak-anaknya sebagaimana diperintahkan oleh Allah dan RasulNya, sebagaimana telah valid dalam hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau berkata kepada Basyiir bin Sa’d, “Bertakwalah engkau kepada Allah dan bersikaplah adil diantara anak-anakmu”. Beliau juga berkata, “Janganlah menjadikan aku saksi atas kedzoliman !”, dan Nabi memerintahkannya untuk mengembalikan kelebihan (harta yang telah ia hadiahkan kepada An-Nu’maan-pent) kepada seluruh anak-anaknya.
Maka jika orang ini telah meninggal dan ia tidak berbuat adil maka kedzolimaannya harus ditolak menurut pendapat yang lebih kuat diantara dua pendapat para ulama, sebagaimana diperintahkan oleh Abu Bakr dan Umar terhadap harta Sa’d bin ‘Ubaadah. Dan seluruh anak-anaknya yang terdzolimi berhak untuk menuntut hak mereka dan berhak untuk membatalkan pengkhususan (hadiah harta yang telah dilakukan ayah mereka-pent) yang menjadikan mereka terdzolimi. Dan sikap membantu anak-anak tersebut dalam rangka agar mereka memperoleh hak mereka termasuk perbuatan amalan soleh yang pelakunya diberi pahala oleh Allah” (Jaami’ul Masaail 4/339)
Catatan :
– Pendapat yang telah dipaparkan oleh penulis diatas adalah pendapat yang lebih kuat dan merupakan pendapat madzhab Hanabilah dan Dzohiriyah dan dikuatkan oleh Ibnu Taimiyyah. Adapun pendapat jumhuur Ulama, maka pemberian yang tidak adil terhadap anak-anak hukumnya hanya makruh namun tidak sampai derjat haram. Akan tetapi pendapat ini kurang kuat mengingat dalil-dalil diatas. (Lihat bantahan terhadap argumentasi yang dikemukakan oleh Jumhur Ulama dalam kitab Fathul Baari 5/214-216 dan Al-Muhalla 9/146)
– Para ulama telah menjelaskan bahwasanya boleh bagi seseorang untuk mengkhususkan pemberian kepada sebagian anak-anaknya jika memang ada kondisi sang anak yang membolehkan hal itu. Ibnu Qudaamah berkata, “Jika ia mengkhususkan pemberian kepada sabagian anak-anaknya karena ada kondisi khusus yang mengharuskan hal itu maka tidak mengapa. Seperti sang anak memiliki keperluan khusus atau penyakit atau cacat yang permanen atau kebutaan atau karena banyaknya anak-anaknya atau sang anak sibuk menuntut ilmu atau karena ada kemuliaan-kemuliaan yang semisal itu pada sang anak. Atau sang ayah tidak memberikan sebuah pemberian kepada sebagian anak-anaknya karena kefasikan sang anak atau melakukan bid’ah, atau harta pemberian tersebut akan digunakan untuk bermaksiat kepada Allah atau dihabiskan untuk bermaksiat” (Al-Mughni 8/258)
– Para ulama telah berselisih pendapat tentang cara bersikap adil dalam memberikan pemberian terhadap anak-anak. Apakah harus sama rata antara anak putra dan anak putri ataukah anak putra mendapat 2 kali lipat sebagaimana dalam hal warisan?. Ada dua pendapat dalam permasalahan ini, akan tetapi yang lebih kuat adalah pendapat bahwasanya pemberiannya harus sama rata antara anak putra dan putri karena keumuman sabda Nabi kepada Basyiir, سَوِّ بَيْنَهُمْ “Sama ratakan diantara anak-anakmu”. Dan Nabi tidak memperinci dan membedakan antara anak lelaki dengan anak wanita. Dan ini merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama. (lihat Al-Hibah wa Ahkaamuhaa, hal 121-125)
Dari keterangan diatas maka jelas apa yang telah dilakukan oleh ayah sipenanya merupakan bentuk kezholiman. Maka boleh bagi anak-anak yang lain untuk berusaha meminta bagian mereka. Caranya dengan memahamkan hal ini kepada anak-anak dari istri pertama ayah mereka. Namun jika anak-anak dari istri pertama ayah mereka tidak menerima dan tidak mungkin pula mengambil hak mereka melalui jalur hukum maka penulis menasehatkan kepada penanya untuk bersabar. Toh harta dunia bisa dicari, anggaplah apa yang menimpa penanya merupkan musibah yang bisa mengangkat derajatnya dan menggugurkan dosa-dosanya. Serta jangan lupa untuk mendoakan ayahnya agar diampuni oleh Allah. Wallahu ‘Alam bis Showaab.
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 10 Syawal 1431 H / 19 September 2010 M
Disusun oleh Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja
Artikel: www.firanda.com
Kitab rujukan
1. Al-Muhalla, Ibnu Hazm, tahqiq Ahmad Muhammad Syaakir, Idaarot At-Tibaa’ah Al-Muniiriyyah, cetakan pertama (1347 H)
2. Al-Mughni, Ibnu Qudaamah, tahqiq : DR Abdullah bin Abdil Muhsin At-Turki, Daar ‘Aalamul Kutub, cetakan ketiga (1417 H- 1997 M)
3. Jaami’ul Masaail, Ibnu Taimiyyah, tahqiq : Muhammad ‘Uzair As-Syams, Isyroof Bakr Abu Zaid, Daar ‘Aalamul Fawaaid, cetakan pertama (1422 H)
4. Al-Hibah wa Ahkaamuha fi As-Syari’ah Al-Islaamiyyah, Khoir Abdullah Ridho Kholil, Jaami’ah Al-Malik Abdul ‘Aziz. Risaalah ‘Ilmiyyah. Qismul Fiqh
5. Fathu Baari, Ibnu Hajr al-‘Asqolaani, tahqiq Muhammad Fu’ad Abdul Baaqi dan Muhibbuddiin Al-Khothiib, Daarul Ma’rifah